KabarToraya.com — Setelah Haji Hasan syahid di penjara pada tahun 1914, pihak kolonial Belanda sempat merasa bahwa posisinya di Luwu mulai stabil. Perlawanan yang dipimpin oleh Haji Hasan dianggap telah berakhir, dan meskipun perlawanan Tojabi masih berlangsung, Belanda merasa aman untuk sementara waktu. Namun, perkiraan Belanda itu segera meleset, karena perlawanan rakyat di Luwu kembali meletus, kali ini dipimpin oleh seorang bangsawan Toraja, Pong Simpin.
Perlawanan ini berpusat di kawasan pegunungan Pantilang, sebuah daerah yang terkenal dengan hutan lebatnya. Pantilang terletak sekitar 38 kilometer sebelah barat daya dari kampung Bua, atau sekitar 50 kilometer di selatan Kota Palopo. Daerah ini, yang dikenal sulit dijangkau, menjadi tempat bersemayamnya perlawanan yang dipimpin oleh Pong Simpin, yang mulai menggalang kekuatan rakyat untuk melawan penindasan yang dilakukan oleh Belanda.
Pemberontakan ini bukanlah tanpa sebab. Selain adanya seruan dari Datu Luwu, Andi Kambo, yang mengajak rakyat untuk bersatu melawan penjajahan Belanda, perlawanan ini juga dipicu oleh tindak kekerasan dan penghinaan yang dilakukan oleh pasukan Belanda terhadap penduduk lokal. Dalam setiap patroli yang mereka lakukan, pasukan Belanda seringkali merusak tatanan adat-istiadat masyarakat, menghina kepala-kepala suku, serta memperlakukan penduduk setempat dengan semena-mena. Perlakuan yang tak terhormat ini membuat rakyat semakin tersinggung dan marah.
Pong Simpin, sebagai tokoh yang dihormati oleh masyarakat Toraja, merasa bahwa sudah saatnya untuk bertindak. Melihat situasi yang semakin buruk, ia memutuskan untuk memimpin perlawanan. Langkah pertama yang diambil adalah dengan melakukan penghadangan terhadap pasukan Belanda yang sedang dalam perjalanan menuju Pantilang. Pada saat pasukan Belanda tiba di daerah Pongkatapi, sekitar 10 kilometer selatan Kota Palopo, mereka diserang secara mendadak oleh pasukan Pong Simpin.
Serangan ini mengejutkan pasukan Belanda. Dalam penyergapan itu, sejumlah tentara Belanda tewas, termasuk seorang sersan bernama Stout. Kemenangan dalam pertempuran tersebut memberikan dorongan moral besar bagi rakyat Pantilang dan semakin memperburuk keadaan bagi Belanda. Kejadian ini membuat pihak Belanda harus merespon dengan lebih serius. Mereka segera menyusun pasukan besar untuk menumpas perlawanan Pong Simpin dan mengakhiri pemberontakan di Pantilang.
Namun, meski Belanda telah mengerahkan pasukan dalam jumlah besar, mereka tetap tidak dapat dengan mudah menangkap Pong Simpin. Sebab, pemberontakan yang dipimpin oleh Pong Simpin bukan hanya perlawanan sporadis, tetapi telah menyentuh kesadaran kolektif masyarakat di wilayah tersebut. Sebagai tokoh yang dihormati, Pong Simpin dengan cerdik mampu mengorganisir perlawanan yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa.
Perlawanan tersebut menggerakkan hati rakyat di luar Pantilang untuk turut berjuang. Belanda yang semakin terdesak pun mulai merasa kesulitan. Mereka bahkan harus meminta bantuan dari anggota-anggota kabinet lokal untuk mencari dan menangkap Pong Simpin. Pemerintah kolonial Belanda menjanjikan penghargaan dan kehormatan bagi siapa saja yang berhasil menangkap pemimpin perlawanan tersebut. Tawaran ini menarik perhatian beberapa tokoh lokal yang kemudian membantu pasukan Belanda dalam upaya penangkapan.
Meskipun sudah mengerahkan berbagai upaya, Belanda akhirnya berhasil menangkap Pong Simpin setelah berbulan-bulan pengejaran. Pada akhirnya, Pong Simpin tertangkap di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Gunung Buntu Puang, yang terletak di wilayah Kecamatan Pantilang. Penangkapan ini dilakukan dengan bantuan orang-orang dalam kabinet kerajaan yang bekerja sama dengan Belanda. Pong Simpin, bersama dua orang rekannya, Pong Daku dan Sumalla, kemudian dibawa ke Jawa untuk dibuang ke pengasingan, bersama dengan Andi Baso Lempulle, salah satu tokoh yang turut terlibat dalam perlawanan di Luwu.
Penangkapan dan pengasingan Pong Simpin menandai berakhirnya salah satu perlawanan besar rakyat Luwu terhadap penjajahan Belanda. Namun, meskipun pemimpin perlawanan ini telah ditangkap, perlawanan di wilayah lain tetap terus berlangsung, dan Belanda masih harus menghadapi berbagai tantangan untuk mempertahankan kendali atas wilayah tersebut. Keberanian Pong Simpin dan rakyat Pantilang menjadi simbol perlawanan yang tak kenal lelah terhadap penindasan dan kolonialisasi.
Pemberontakan yang dipimpin oleh Pong Simpin mencatatkan sebuah babak baru dalam sejarah perjuangan rakyat Luwu dan Toraja dalam menghadapi penjajahan Belanda. Meskipun pada akhirnya perlawanan ini dapat dipadamkan, semangat perlawanan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Haji Hasan, Tojabi, dan Pong Simpin terus menginspirasi generasi berikutnya untuk tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan.
Sejarah ini menjadi bukti bahwa meskipun Belanda memiliki kekuatan militer yang besar, namun semangat juang rakyat yang dibakar oleh ketidakadilan dan penindasan tak mudah dipadamkan. Pada akhirnya, rakyat Luwu dan Toraja menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah tunduk pada kekuasaan yang menindas, dan mereka akan terus berjuang demi kebebasan dan martabat bangsa.